Menyikapi Perbedaan Pendapat Empat Imam Dalam Ibadah
Seperti yang kita ketahui, ada
empat imam yang menonjol dan diikuti oleh umat hingga terbenutknya mazhabnya
masing-masing. Keempat imam popular itu adalah Imam Hambali, Imam Hanafi, Imam
Maliki, Imam Syafi’i. Pengetahuan mereka yang dalam tentang agama menjadikan
mereka sebagai tempat rujukan bagi umat untuk bertanya mengenai syariah, hukum
dan akidah Islam. Namun tidak jarang pendapat keempat imam itu berbeda atau
bahkan bertentangan.
Contohnya
mengenai pembacaan niat puasa. Rasullulah bersabda ,”Barang siapa yang tidak
berniat di malam hari sebelum fajar, maka sama sekali tidaklah puasa itu sah
baginya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majjah, dari hafshah).
Hadist
tersebut menegaskan bahwa tidak sah puasa seseorang dengan niat pada saat fajar
terbit, apalagi sesudahnya.
1. Pendapat
mazhab Hanafiyah : Lebih
baik bila niat puasa (apa saja) dilakukan bersamaan dengan terbitnya fajar,
karena saat terbit fajar merupakan awal ibadah. Jika dilaksanakan setelah
terbitnya fajar, untuk semua jenis puasa wajib yang sifatnya menjadi
tanggungan/hutang (seperti puasa qadla, puasa kafarat, puasa karena telah
melakukan haji tamattu’ dan qiran –sebagai gantinya denda/dam, dll) maka tidak
sah puasanya. Karena, menurut mazhab ini, puasa-puasa jenis ini niatnya harus dilakukan pada
malam hari. Tapi lain dengan puasa wajib yang hanya dilakukan pada waktu-waktu
tertentu, seperti puasa Ramadhan, nadzar, dan pusa-puasa sunnah yang tidak
dikerjakan dengan sempurna, maka boleh saja niatnya dilakukan setelah fajar
sampai sebelum Dhuhur.
2.
Pendapat Mazhab Malikiyah : Niat dianggap sah, untuk semua jenis
puasa, bila dilakukan pada malam hari atau bersamaan dengan terbitnya fajar.
Adapun apabila seseorang berniat sebelum terbenamnya matahari pada hari
sebelumnya atau berniat sebelum tergelincirnya matahari pada hari ia berpuasa
maka puasanya tidak sah walaupun puasa sunnah.
3. Pendapat Mazhab
Syafi’iyah : Untuk
semua jenis puasa wajib (baik yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu seperti
puasa Ramadlan; yang sifatnya menjadi tanggungan seperti qadla’, nazar,
kafarat, dll.) niat harus dilakukan pada malam hari. Adapun puasa sunnnah, niat
bisa dilakukan sejak malam hari sampai sebelum tergelincirnya matahari. Karena
Nabi saw. suatu hari berkata pada ‘Aisyah: ‘Apakah kamu mempunyai makanan?’.
Jawab ‘Aisyah: ‘Tidak punya’. Terus Nabi bilang: ‘Kalau begitu aku puasa’.
Lantas ‘Aisyah mengisahkan bahwa Nabi pada hari yang lain berkata kepadanya:
‘Adakah sesuatu yang bisa dimakan?’. Jawab ‘Aisyah: ‘Ada ’. Lantas Nabi berkata: ‘Kalau begitu saya
tak berpuasa, meskipun saya telah berniat puasa’.
4. Pendapat Mazhab
Hambaliyah : Tidak beda
dari Syafi’iyah, mazhab ini mengharuskan niat dilakukan pada malam hari, untuk
semupa jenis puasa wajib. Adapun puasa sunnah, berbeda dari Syafi’iyah, niat
bisa dilakukan walaupun telah lewat waktu Dhuhur (dengan syarat belum
makan/minum sedikitpun sejak fajar).
Kita
diperbolehkan menggunakan niat puasa sebulan penuh milik Madzab Maliki dimana
pendapat itu didasarkan pada penilaian bahwa puasa sebulan Ramadhan itu adalah
sebuah kesatuan, tidak terpecah-pecah, sehingga layak disebut sebagai satu
bentuk ibadah, dalam artian antara malam hari yang boleh makan minum dengan
siang hari yang harus berpuasa, sudah merupakan suatau gaungan ibadah puasa.
Dan juga kebiasaan dari manusia kalau manusia itu tempat salah dan lupa, kadang
ada yang bertanya kita lupa niat bagaimana hukumnya??? Dan untuk menghindari
dari permasalahan tsb maka Insya Allah alfaqir akan memberitahu cara agar
supaya kita tercegah dari kelupaan dalam niat, dan untuk diterima atau tidaknya
itu hanyalah urusan dari Allah Azza Wa Jalla.
Kita
menggunakan niat beliau semata-mata hanya untuk mencegah kelupaan atau jika
kita lupa niat puasa pada malam harinya maka puasa kita masih sah. Tapi tidak
hanya dengan melafadzkan niat Imam Malik yang sebulan penuh itu kita tidak niat
lagi tiap malam. Kita tetap niat puasa setiap malam (menurut Madzab Imam
Syafi’i). Niat Imam Malik tsb hanya untuk menutupi apabila kita lupa niat pada
malam harinya.
Sebenarnya
perbedaan bukanlah hal yang besar untuk dipermasalahkan, apalagi sampai memecah
belah umat. Setiap imam yang berbeda pendapat pasti memiliki dasar yang sangat
kuat. Selain itu, potensi intelektual yang diberikan Allah SWT pada setiap
orang jelas berbeda. Dengan perbedaan intelektual tersebut, mustahil semua
orang bisa menarik kesimpulan yang sama ketika berhadapan dengan syariah. Belum
lagi ungkapan dan gaya bahasa Qur’an serta hadist memiliki potensi
multiinterpretasi (multi ta’wil), baik karena factor ungkapan maupun susunannya.
Menyikapi
perbedaan empat imam dalam beribadah, kita sebagai umat islam harus mencari
tahu dulu yang paling benar atau paling tidak mendekati benar menurut Qur’an
dan Hadis. Selain itu sikapilah perbedaan pendapat dengan bijaksana.
0 komentar :
Post a Comment